November 10, 2018

[Book Review] Thousand Dreams - Dian Mariani

Judul: Thousand Dreams
Penulis: Dian Mariani
Halaman: 216 halaman
Genre: Teenlit, Young Adult (15+)
Tahun: Juli, 2018
Penerbit: Elex Media Komputindo
ISBN: 9786020476759
Harga: IDR 52.800 (P. Jawa)
Rate: ★★★★☆



Cita-cita terdalam mereka, kecintaan mereka terhadap dunia seni, kerelaan mereka mengorbankan banyak hal demi mewujudkan mimpi mereka. Tidak semua orang bisa mengerti. Hanya orang yang punya kecintaan sebesar itu yang bisa memahami. [Jo] - h. 80


B l u r b :

Jo dan Callista bersahabat sejak SMA. Sama-sama menyukai seni, tetapi terpaksa menempuh pendidikan di jurusan yang tidak mereka sukai. Callista yang suka menulis, terpaksa memilih jurusan yang dibencinya, demi karier yang menurut ibunya jauh lebih cemerlang. Sedangkan Jo, yang tergila-gila dengan fotografi, terpaksa mengambil jurusan Bisnis sesuai dengan keinginan orangtuanya.

Segalanya memang akan terasa lebih berat kalau kita tidak suka dengan apa yang kita lakukan. Tapi, hobi yang dijalankan sepenuh hati, juga punya tuntutan sendiri. Dunia seni profesional mulai menunjukkan taringnya. Menjadi seniman ternyata tak semudah yang dibayangkan. Target, deadline, dan profesionalisme adalah wajib hukumnya demi unjuk gigi di dunia yang mereka idamkan ini.

Sibuk dengan mimpi dan cita-cita masing-masing, kedua sahabat ini perlahan saling menjauh. Memang harus ada yang dikorbankan, demi mencapai sesuatu yang sangat kita inginkan. Dan ketika percik hati mulai berbunyi, siapakah yang mereka pilih? Jemari lain yang menggandeng mereka meraih mimpi atau seseorang yang pernah punya arti?


S t o r y l i n e :

Jo menyukai fotografi, sementara Callista suka menulis. Namun semua itu tidak mendapatkan restu dari orangtua mereka, terutama sang ayah. Merasa memiliki 'nasib' yang sama, mereka berdua saling menyemangati. Sering kali berbicara mengenai mimpi-mimpi mereka.

Suatu hari Callista dinyatakan sebagai salah satu pemenang dalam lomba menulis yang diadakan oleh penerbit Garuda, dan karyanya akan diterbitkan. Namun sebelumnya Callista harus menjalani beberapa perosedur penerbitan, salah satunya adalah merevisi naskah yang ditangani oleh Nando, editor Garuda sekaligus penulis favorit Callista. Well, tentu saja Callista happy nggak ketulungan, siapa sih yang nggak happy kalau berada di posisinya Callista?

Sementara itu di sisi lain, Jo juga memenangkan sebuah lomba fotografi yang berhadiah kursus langsung oleh seorang fotografer terkenal, Darius Bono, selama dua bulan. Berangkat dari sini Jo akhirnya semakin mahir memotret. Bang Patar yang juga sering mengajak Jo memotret mengajak Jo untuk memotret sebuah event fashion. Nah, di sinilah Jo mengenal Elisa, sosok yang sangat gigih dalam meraih mimpi-mimpinya, sosok yang sama sekali tidak membuang kesempatan sekecil apa pun. Elisa berperan besar dalam karir memotret Jo yang masih pemula ini. Mulai bertukar pikiran, memberi motivasi, hingga mengenalkan/merekomendasikan Jo pada networking-nya.

Callista dan Nando sibuk dengan dunia kepenulisan mereka.
Jo dan Elisa sibuk dengan even-even fotografi mereka.

Kesibukan itu menjauhkan mereka. Jo dan Callista hampir tidak pernah bersama, bahkan untuk sekadar bertukar kabar melalui telepon/pesan singkat. Ujung-ujungnya kesalahpahaman pun tidak dapat dihindari. Pun dengan rasa cemburu.

Belakangan mereka menyadari, banyak yang harus dikorbankan demi meraih mimpi. Namun tidak berarti mereka juga harus mengorbankan apa yang sudah mereka dapatkan.



"Menurut gue ... berlari terlalu cepat bisa bikin kaki kita luka. Berjalan pelan, bukan berarti kita nggak bisa sampai di tujuan. Saat ini, gue memilih untuk berjalan pelan dan menikmati setiap prosesnya." [Callista] - h. 136 


K a r a k t e r :

Jo → Tergila-gila dengan fotografi, namun restu orangtua (terutama sang ayah) membuat cita-citanya terhambat. Meski begitu dia masih mau menuruti keinginan ayahnya untuk masuk jurusan Bisnis. Dia berani mengambil risiko apa pun demi mengejar mimpinya, termasuk kuliahnya yang menjadi berantakan.

Callista → Terpaksa masuk jurusan Akuntansi meski sangat suka menulis, padahal dia sangat membenci jurusan itu. Namun ketika tulisannya berhasil diterbitkan, Callista menyadari satu hal, bila ternyata semua ini tak semudah yang dia bayangkan.

Nando → Editor sekaligus penulis favorit Callista. Memiliki hobi serta pemikiran yang sama membuat Nando menaruh rasa lebih pada Callista.

Elisa → Cewek yang terbang bebas, tidak peduli apa pun dalam berjuang meraih mimpinya. Semua kesempatan yang ada tidak dia sia-siakan. Elisa ini juga berperan penting dalam karir memotret Jo.

P e n u l i s a n :

Seperti tulisan ce Dian yang sebelumnya aku baca (Me Minus You) penulisan novel ini menggunakan POV ketiga terbatas. Bedanya semua perpindahan POV dalam novel ini rapi banget, lalu semua kalimatnya juga begitu rapi, jadi dari segi penulisan novel ini lebih nyaman untuk dibaca.

Di beberapa bagian aku masih nemu kata yang nggak konsisten, yaitu penulisan orangtua. Ada yang dipisah, ada juga yang digandeng. Sebetulnya artinya beda, walau sampai sekarang setahuku nggak ada ketentuan khusus.
Orang tua → Orang yang tua.
Orangtua → Lebih menunjuk ke Ayah-Ibu.



"Jadi gue berpikir ... hidup ini, bukan tentang memenangi seluruh pertandingan. Bukan juga tentang siapa yang paling cepat berjalan. Atau menentukan siapa juaranya. Tapi, yang menikmati waktu setiap detiknya." [Callista] - h. 190

Aku excited banget sama buku ini. First, karena aku suka baca teenlit (biar awet muda). Second, karena temanya friend zone. Jadilah dua poin unggulan itu menjadikan buku ini masuk dalam reading list-ku. Dan setelah dibaca, isinya nggak mengecewakan. Banyak pelajaran mengenai mimpi yang bisa diambil dari sini.

Novel ini memang menuliskan betapa pentingnya kita menggapai mimpi kita, semua itu butuh sebuah pengorbanan yang besar, termasuk mengorbankan apa yang sudah kita miliki. Memang mimpi terkadang bisa menjadikan kita serakah dan kurang bersyukur. Nah, Jo dan Callista juga menghadapi itu. Pertama-tama mereka harus berjuang menggapai mimpi mereka sementara orangtua mereka tidak merestui. Lalu setelah mimpi itu tercapai, mereka dihadapkan pada situasi yang menuntut mereka untuk mengorbankan hal-hal sederhana yang sudah mereka miliki, seperti orangtua dan sahabat. Susah euy menyeimbangkan semua itu. Selain itu, buku ini juga mengajarkan kalau apa pun keinginan orangtua, sekalipun bertentangan dengan keinginan kita, orangtua hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Kelak, sebagai orangtua kita juga pasti akan mengerti.

Cita-cita Jo maupun Callista sangat dieksplor di sini, jelas sejelas-jelasnya. Sayangnya pergulatan batin mereka malah kurang dieksplor, alhasil kurang bikin baper. Interaksi yang menggambarkan friend zone mereka lebih ke aksi daripada perasaan. Seperti Jo yang ngelindungin Callista atau Callista yang bersedia nungguin mamanya Jo. Scene favoritku yang waktu di Bandung itu, feel cemburunya Jo dapet banget. Hehe....

Btw waktu baca ini, aku feel related banget sama Callista. I was on the same boat with her. Mau masuk jurusan Sastra tapi dipaksa masuk jurusan Akuntansi. Bisa lulus dengan IP bagus? Bisa kok. Tapi sampai sekarang aku nggak ada suka-sukanya sama Akuntansi, not even a little. Aku tetep suka baca dan nulis. Tapi bagiku nggak ada kata terlambat sih. Aku masih berjuang buat mimpiku.

"Yes, you have to dream high. Just don't forget to be safely landed." [Callista] - h. 191

No comments:

Post a Comment