January 30, 2020

[Book Review] As Always, I Love... - Nureesh Vhalega

Judul: As Always, I Love...
Penulis: Nureesh Vhalega
Genre: City Lite
Rilis: 13 Januari, 2020
Tebal: 288 halaman
Bahasa: Indonesia
Penerbit: Elex Media Komputindo
ISBN: 9786230012259
Harga: IDR 75.000 (P. Jawa)
Rate: ★★★★☆


B l u r b :

Beberapa bulan menjelang pernikahannya, ayah Lyrrani Bestari meninggal. Dunianya runtuh, karena selama ini dia merasa hanya punya ayahnya dan Rayen, sahabatnya sejak masa SMA. Tidak hanya itu, beberapa masalah mulai bermunculan seiring persiapan pernikahannya. Sesosok orang yang hilang dari hidupnya empat belas tahun lalu, tiba-tiba kembali. Belum lagi, Juan, tunangannya, yang tetap sibuk dengan pekerjaannya di tengah persiapan pernikahan mereka.

Lyrra bersyukur punya Rayen yang dapat selalu ia andalkan di tengah semua permasalahan yang dihadapinya. Keduanya begitu dekat sampai semua orang di sekitar meragukan persahabatan mereka. “Kami cuma sahabat” sudah sering mereka lontarkan.

Apakah Rayen dapat membantu Lyrra melewati ini semua menuju pernikahannya? Ataukah Rayen akan menghancurkan semuanya … dengan menyatakan perasaan yang sesungguhnya?

*

Heartwarming. Itulah yang aku rasakan sewaktu membaca buku ini.
Pada bab-bab awal aku sudah disuguhi oleh sebuah interaksi yang hangat antara Lyrra dan ayahnya. Karena menurutku memiliki jadwal khusus bersama orangtua itu sudah menjadi sesuatu yang langka sekarang ini. Jangankan setiap hari Minggu, setahun sekali aja kadang sulit. Lalu juga hubungan Lyrra dan Rayen sebagai sahabat, yang bisa dibilang selalu ada satu sama lain. Sampai sini aku sudah siap terjebak dalam pusaran friend zone. Bisakah cowok dan cewek bersahabat selamanya tanpa ada rasa yang lebih dari sekadar sahabat? Well, ada kok. Karena aku punya sahabat cowok dan sampai sekarang masih setia jadi sahabatku. Tapi bagaimana dengan Lyrra dan Rayen?

Menjelang pernikahannya dengan Juan, memang banyak sekali masalah yang Lyrra hadapi. Mulai dari ayahnya yang tiba-tiba meninggal, sosok dari masa lalu yang tiba-tiba muncul, serta tak kalah penting dari semua itu adalah perasaannya sendiri. Dari awal aura yang aku rasakan udah gloomy ya, mencerminkan Lyrra banget. Bagaimana dia yang sudah terlanjur menerima lamaran Juan, sedangkan di sisi lain dia sadar jika perasaannya bukan untuk Juan. Lyrra hanya bingung dan enggan mengakui apa yang sebenarnya dirasakannya. Aku pikir, bagaimana cara penulis memunculkan konflik-konflik eksternal sebagai pendamping konflik batin si tokoh utama, bisa dibilang cantik. Kesannya natural. Bukan seperti sesuatu yang sengaja atau terpaksa untuk dimunculkan. Kalau biasanya tulisannya Nui terkesan diuber maling, kali ini nggak. Aku merasakan semuanya mengalir gitu aja. Dari awal dibangunnya konflik, puncak, sampai penyelesaiannya pun terasa apa adanya. 

Sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama, yaitu Lyrra. Namun meski demikian, aku bisa dengan mudah memahami karakter-karakter lain yang ada di sini. Misalnya Rayen, Juan, dan kedua sahabat Lyrra lainnya. Karena masing-masing dari mereka memiliki karakter yang kuat, jadi nggak membingungkan. Satu dengan yang lain benar-benar memiliki karakter mereka sendiri.

Aku terenyuh dengan Lyrra yang merasa dibohongi oleh ayahnya, juga merasa berdosa karena seseorang yang selama ini dia benci malah bukan merupakan pihak yang bersalah. Lyrra memiliki luka, juga rasa kecewa. Semuanya itu dia simpan sendiri, sampai tanpa sadar menimbulkan ketakutan tersendiri baginya, termasuk meragukan cinta Juan. Yang aku rasakan, Lyrra ini memang betul-betul memiliki luka masa lalu yang tidak bisa dibilang sederhana.

Untuk keseluruhan ceritanya sendiri, serta ending-nya, aku udah bisa menebaknya. Aku juga nggak sampai speechless dengan twist yang disuguhkan. Namun berhubung cara penulis merangkai cerita, mulai dari latar belakang, konflik, dan penyelesaiannya terbilang cantik, aku yakin siapa pun yang membacanya akan bisa dengan mudah menikmati ceritanya. Memang ini bukanlah sebuah cerita yang bikin aku baper atau semacamnya, namun ini adalah karya paling matang dari Nui yang pernah aku baca. Suka deh sama penulis yang semakin hari karyanya semakin berbobot. Karena menurutku sebuah karya yang berbobot nggak harus memiliki konflik yang berat dan berbelit-belit. Sederhana, tapi cantik.

Oh ya, kapan-kapan aku pengin Nui bikin karakter antagonis deh. Karena selama ini karakter yang Nui bikin cenderung kek kapas, kalem dan manis. Wkwkwkwk....

Q u o t e s :

Namun benar apa yang dikatakan orang-orang, seharusnya aku berhati-hati dengan keinginanku. Karena ketika keinginan itu menjadi nyata, ada duka berkepanjangan yang menyertainya. - h. 37
Sebenci apa pun aku mengingatnya, tetap saja kenangan itu ada. - h.59
Aku selalu bertanya-tanya ... bisakah waktu membekukan luka? - h. 73
"Ada banyak luka yang bisa membuat seseorang berubah. Menjadi pribadi yang berbeda, sama sekali bukan dirinya." [Ibu Lyrra] - h. 91
"Luka bukanlah sesuatu yang bisa dihindari dari hidup. Setiap manusia yang bernapas pasti akan merasakannya. Tapi ... jangan biarkan luka menenggelamkan kamu, Lyrra. Kamu harus ingat bahwa masih ada banyak orang yang mencintai kamu, yang jauh lebih berharga daripada luka itu. Kamu hanya harus bertahan sedikit lebih lama untuk orang-orang itu. Dan, biarkan waktu yang menyembuhkan luka...." [Ibu Lyrra] - h. 91
"Yang terbaik bakal datang di waktu yang tepat. Bukan di waktu yang kita mau, atau kita harapkan, tapi di waktu yang tepat." [Rayen] - h. 172
"Karena setiap orang berhak dapat kesempatan buat jelasin situasinya. Selalu ada dua sisi dari satu cerita." [Rayen] - h. 179
"Suatu hari nanti kamu akan mengerti, cinta selalu menemukan tempatnya untuk pulang. Nggak peduli berapa lama waktunya, ataupun seberapa jauh jaraknya, cinta akan selalu pulang." [Ibu Lyrra] - h. 204
"Ada banyak hal dalam cinta yang tidak masuk akal. Tapi itulah cinta. Berada di luar logika. Karena cinta dirasakan oleh hati, bukan pikiran." [Ibu Lyrra] - h. 205
"Hidup bersama orang yang mencintai kamu memang baik, Sayang, tapi nggak ada yang lebih hebat dari hidup bersama orang yang mencintai kamu, juga kamu cintai." [Ibu Lyrra] - h. 210

January 23, 2020

[Book Review] Finn - Honey Dee

Judul: Finn
Penulis: Honey Dee
Genre: Metropop (17+)
Rilis: 13 Januari, 2020
Tebal: 312 halaman
Bahasa: Indonesia
Penerbit: GPU
ISBN:  9786020634869
Harga: IDR 89.000 (P. Jawa)
Rate: ★★★★½


B l u r b :

Setelah "membunuh" seseorang, apakah kita masih bisa "hidup"?

Sejak kematian Arthur, kehidupan Liz dan keluarganya seolah ikut mati. Tak ada lagi kehangatan maupun kebahagiaan. Muak dengan kehidupannya, Liz merencanakan pelarian menuju kebebasan.

Liz berkenalan dengan Andika Gautama, kakak dari seorang remaja penderita autisme. Perkenalan itu membawa Liz ke Balikpapan, tempat ia menyanggupi untuk bekerja sebagai terapis Finn, adik Andika.

Bagi Andika, Liz tidak hanya memenuhi semua kriteria menjadi terapis Finn, tetapi juga mengisi ruang kosong di hatinya. Bagi Finn, Liz adalah harapan setelah dunianya hilang saat kematian ibunya. Dan, bagi Liz, Andika dan Finn adalah kunci mendapatkan uang demi kehidupan baru dan memaafkan diri sendiri atas kematian Arthur.

Masing-masing berjuang menyembuhkan diri dari luka. Namun, jika tiga tragedi ini bersatu, akankah ada keajaiban atau justru lebih banyak musibah terjadi oada mereka?

*

"Anak autis mengalami sakit kepala berkepanjangan. Kelainan pencernaan yang mereka alami membuat sistem sarafnya terepngaruh juga. Kepalanya terasa panas. Kamu tahu bahwa anak autis harus diet CFGFSF—Casein Free, Gluten Free, Sugar Free?" [Liz] - h. 76

Well, aku baru tahu kalau penderita autisme 'haram' makan yang berbahan kasein, gluten, dan gula, karena ternyata dapat membuat si penderitanya alergi. Jujur topik mengenai autisme ini langsung menarik perhatianku dari awal. Berkaca dari karya Honey Dee yang pernah aku baca, Rooftop, aku menaruh harapan kalau buku ini juga akan memiliki sesuatu yang berbeda.

Kalau biasanya Metropop mengangkat topik mengenai cinta-cintaan serta kehidupan masyarakat urban, Finn ini berbeda. Label boleh Metropop, tapi isinya lebih berupa sesuatu yang selama ini jarang kita sentuh, yaitu autisme. Di sini mengisahkan Finn, seorang anak autisme berusia 21 tahun yang mendapat perlakuan kejam dari sang ayah. Ibunya sudah meninggal, sementara kakaknya, Dika, nggak bisa—atau nggak mau berbuat banyak—untuk membela adiknya di hadapan sang ayah. Lalu di sisi lain ada Liz, cewek kuliahan yang merasa menjadi pembunuh sang adik. Padahal semua itu hanyalah kecelakaan. Sejak Arthur, adiknya yang juga autis, meninggal, suasana rumah sudah tak lagi hidup. Liz beserta kedua orangtuanya hanya seperti orang asing yang tinggal dalam satu atap.

Ada dua sudut pandang yang digunakan, yaitu Finn dan Liz. Dari sini kita akan tahu seperti apa 'isi kepala' para penderita autisme. Apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka pahami atau tidak. Bagaimana cara anak autis menanggapi suatu masalah, itu sama sekali berbeda dengan kita yang dilahirkan sebagai orang normal. Pikiran anak-anak autis itu polos. Mereka mengerti dan merasakan, namun mereka tidak tahu apa namanya. Sementara dari sudut pandang Liz, aku suka banget ketika dia mati-matian merawat penderita autisme, padahal Finn bukan apa-apanya. Liz ini memiliki pemahaman sendiri mengenai autisme, sebuah pandangan yang sangat positif dan membangun.

Alur ceritanya sendiri ringkas, nggak melebar ke mana-mana. Benar-benar fokus. Gaya bahasanya juga enak untuk diikuti, termasuk dari sudut pandang Finn yang menggunakan kata SAYA sebagai penunjuk dirinya sendiri. Penulis juga begitu memperhatikan keterbatasan kata yang dimiliki oleh Finn sebagai penderita autisme. Secara keseluruhan buku ini memiliki sesuatu yang baru, sesuatu yang mungkin selama ini kita pandang setengah mata.

Banyak pelajaran dan pengetahuan yang aku dapat dari buku ini. Per lembarnya aku baca dengan sungguh-sungguh. Aku berusaha memahami seperti apa Finn, seperti apa Liz, juga seperti apa Dika. Dan ending-nya heartwarming banget. Aku rekomen deh buku ini buat kalian baca.

Q u o t e s :

Sebenarnya, ada yang lebih buruk daripada kematian, yaitu hidup tanpa harapan. Itu jauh lebih buruk. Parah, kalau kubilang. Nggak mati dan juga nggak hidup. Ini baru tragedi yang sebenarnya. - h. 11
Sebuah kematian datang, lalu kehidupan lain yang tersisa ikut mati perlahan. - h. 12
Nggak. Nggak ada orang yang berbuat kesalahan, lalu bisa tidur dengan tenang. Sekali lagi, nggak ada. Apalagi kalau kesalahan itu sebesar pembunuhan. Dia nggak akan bisa hidup dengan normal lagi. Nggak akan! Dia pasti menghabiskan hari-hari memikirkan terus tentang kematian. Sadar atau nggak, rasa bersalah bakal terus mengejar sampai bikin pengin mati. Sayangnya, penjahat seeprti itu nggak punya cukup nyali untuk mati. - h. 13
"Autisme bukan kelainan jiwa." [Liz] - h.75
"Laki-laki itu egois, Liz." Dika menggeleng. "Meluapkan kemarahan lebih mudah daripada mengakui rasa bersalah." - h. 165
"Kita nggak diciptakan untuk sendiri, Liz. Kita tetap butuh orang lain, sekuat apa pun kita." [Dika] - h. 194
"Dua hati yang patah bisa saling memperbaiki untuk belajar menyembuhkan diri bersama." [Dika] - h. 194
"Kadang mati lebih mudah daripada hidup." [Dika] - h. 278
Maaf nggak selalu berupa kata-kata, kan? - h. 283 
 

January 20, 2020

[Book Review] Memoar Marla - Safira Hapsari

Judul: Memoar Marla
Penulis: Safira Hapsari
Genre: Literature (17+)
Rilis: 11 November, 2019
Tebal: 400 halaman
Bahasa: Indonesia
Penerbit: Elex Media Komputindo
ISBN: 9786230009334
Harga: IDR 90.000 (P. Jawa)
Rate: ★★★½


B l u r b :

Marla Wijaya bunuh diri di acara Prom Night!

Lima tahun setelah kejadian tersebut, sepucuk surat teror tanpa nama mampir di kotak pos Claudia. Bersamaan dengan itu, undangan di grup WhatsApp SMA untuk menghadiri peringatan lima tahun kematian Marla muncul.
Claudia dipaksa kembali mengenang memorinya bersama Marla yang sudah lama dia tutup rapat.
Marla bukan teman dekatnya di sekolah, tetapi sehari sebelum kematian gadis itu, Claudia mengabaikannya.

Rasa bersalah kembali menghantuinya. Dibantu kedua sahabatnya, Kenzo dan Alva, Claudia berusaha mengungkap siapa sosok yang telah menerornya selama ini sebelum hari peringatan itu tiba. Berbagai nama dari masa SMA mereka muncul sebagai tersangka, dan fakta-fakta yang muncul membuatnya mulai mempertanyakan apa surat-surat itu benar-benar dikirim oleh perempuan yang sudah mati, atau...
Apa semua ini memang salahnya?

*

Dapat surat dari orang yang udah mati? Wow, nggak kebayang deh gimana rasanya. Pastinya serem banget.

Jadi seperti yang udah dijabarkan di blurb-nya, buku ini menceritakan seorang gadis bernama Claudia yang diteror oleh surat yang dikirimkan oleh Marla, teman semasa SMA-nya dulu yang sudah meninggal. Hal ini yang menarik perhatianku untuk membaca buku ini. Meski aku dari awal sebenarnya juga tahu kalau pelakunya bukan hantu, tapi 100% manusia. Aku penasaran bagaimana penulis mengeksekusi plot semacam ini.

Pada dasarnya pencarian si pelaku berhasil bikin aku penasaran, menebak-nebak siapa yang mengirimkan surat kepada Claudia. Penulis menyuguhkan beberapa kandidat yang sekiranya berpotensi menjadi pelaku teror. Cukup menarik, bukan? Twist yang disuguhkan di akhir cerita juga lumayan, meski bagi aku terkesan terlalu 'sinetron'. Entahlah, aku kurang suka eksekusi akhirnya di mana Claudia diculik oleh pelaku, disekap, dan hendak dibunuh.

Karakter Marla yang sudah meninggal direprentasikan melalui buku hariannya. Sebenarnya Claudia dan Marla itu nggak bisa dibilang teman. Namun kepribadian Marla yang terlampau 'kesepian' menganggap Claudia adalah sahabatnya, padahal Claudia dan Marla hampir-hampir nggak pernah berinteraksi. Ini tuh semacam persahabatan yang bertepuk sebelah tangan.

Nggak cuma menyuguhkan cerita detektif-detektifan aja, buku ini juga menyuguhkan sebuah kisah cinta segitiga antara Claudia, Alva, dan Kenzo. Claudia pikir—dan yang dia kehendaki, mereka bertiga akan bersahabat selamanya. Claudia tidak mau menyakiti atau kehilangan salah satunya, maka yang selama ini dia lakukan adalah menepis benih-benih cinta yang dirasakannya kepada salah seorang sahabatnya.

Memoar Marla ini adalah cerita perpaduan dari detektif-detektifan dengan cinta segitiga. Cara penulis meramunya bisa dibilang sudah rapi, gaya penulisannya pun enak untuk dinikmati. Setting tempatnya membuat kita sejenak keluar dari kepadatan Jakarta dan membayangkan hidup di sebuah pedesaan yang masih hijau dan berudara segar. Damai aja gitu rasanya. Penulis juga bisa membangun karakter para tokoh utamanya. Mulai dari Marla, Claudia, Alva, Kenzo, bahkan Jessica. Mereka memiliki karakter yang nyata dan konsekuen dari awal hingga akhir cerita.

Q u o t e s :

"Apa yang terjadi pada Marla adalah tragedi, sebuah pelajaran untuk kita semua. Tapi nggak lantas kita menyalahkan diri terus-terusan karena itu. Kita masih hidup, kita masih terus berjalan maju." [Kenzo] - h. 68
"Kita nggak bisa selamanya selalu bertiga. Tapi bukan berarti persahabatan kita akan hancur karena kamu mengakui perasaan kamu yang sebenarnya." [Alva] - h. 207 
Ini alasan aku benci bertengkar dengan sahabat-sahabatku, karena rasanya sangat menyiksa dan membuatku merana. [Claudia] - h. 211 
Persahabatan kami mungkin tidak akan lagi sama, tetapi aku senang setidaknya mereka berdua selalu ada untukku. [Claudia] - h. 233 

January 09, 2020

[Book Review] Confessions - Minato Kanae

Judul: Confessions
Penulis: Minato Kanae
Genre: Misteri, Thriller, Novel Terjemahan
Rilis: Agustus, 2019 (Terbitan pertama 5 Agustus, 2008)
Tebal: 304 halaman
Bahasa: Indonesia
Penerbit: Penerbit Haru
ISBN: 9786025385889
Harga: IDR. 87.000 (P. Jawa)
Rate: ★★★★★


B l u r b :

Moriguchi Yuko adalah seorang guru SMP. Saat anaknya berusia 4 tahun ditemukan meninggal, semua orang mengira itu cuma kecelakaan nahas.

Akan tetapi Moriuguchi yakin anaknya dibunuh oleh dua dari anak didiknya. Karena itu, dia tidak akan membiarkan kedua anak itu bebas.

Dia ingin membalas dendam, dan balas dendam yang dia lakukan itu hanyalah awal dari sebuah mimpi buruk....

*

Beberapa bulan lalu buku ini sempat hype dan dinanti-nantikan peluncurannya. Bahkan di beberapa tempat, termasuk di kotaku, mengadakan nonton bareng untuk movie-nya. Aku sempat tertarik sih, maklum lah, kan heboh banget waktu itu, tapi sewaktu baca sinopsisnya, aku urung untuk ikut PO-nya. Pikirku, Halah, paling cerita balas dendam ya gitu-gitu aja. Dimutilasi, atau apalah. Bayanganku semacam serial SAW itu. Jadi aku skip. Baru pas akhir tahun lalu, pas jalan-jalan ke Togamas, aku ngelihat buku ini dan tiba-tiba aja udah aku beli. Hehe.

Dan ... waktu aku mulai masuk ke dalam ceritanya, aku ngerasa nggak rela pisah sama buku ini. Pokoknya pengin baca, baca, dan baca. Terus waktu udah selesai, aku langsung mengambil kesimpulan bahwa buku ini 'SAKIT'. Seriusan, buku ini 'SAKIT'!!! Niat balas dendam sang guru jadi merembet ke mana-mana, berkaitan dengan latar belakang yang cukup rumit.

Dikisahkan di sini ada seorang guru perempuan bernama Moriguchi Yuko, yang juga seorang single parent dari seorang anak perempuan bernama Manami yang berusia empat tahun. Karena keadaan, Moriguchi terpaksa membawa anaknya ke sekolah. Biasanya tidak terjadi apa-apa, Manami hanya akan menunggu ibunya di ruang UKS. Namun pada hari itu, gadis kecil itu ditemukan mengambang di kolam renang sekolah. Semua menduga jika Manami tewas karena tenggelam, tapi Moriguchi tidak berpikir demikian. Moriguchi yakin anak sematawayangnya dibunuh oleh dua orang anak didiknya.

Secara keseluruhan buku ini hanya berisi enam bab, yang masing-masing babnya menceritakan latar belakang, kronologis, tujuan, serta rencana balas dendam atas kasus terbunuhnya Manami. Siapa yang menyangka, dua pembunuhnya sama sekali tidak memiliki alasan yang logis. Serius deh, ini terlalu wow banget untuk diterima akal sehat kita. Setiap babnya mengambil sudut pandang yang berbeda-beda, mulai dari Moriguchi, dua orang tersangka, ketua kelas, serta seorang lagi yang merupakan 'wakil' dari si pencerita sebenarnya. Setiap babnya sebenarnya sama kok, kita juga pasti akan tahu apa yang terjadi. Bedanya, latar belakang serta tujuan mereka berbeda. Contohnya dua tersangka ini, Shuya dan Naoki, mereka memiliki latar belakang dan tujuan yang berbeda, namun ada suatu kebetulan yang mengaitkan, sehingga terjadilah sebuah pembunuhan.

Mungkin kalian bertanya-tanya kenapa aku nyebut buku ini 'SAKIT'. Well, karena orang waras tidak akan mungkin melakukan hal ini. Demi kraby patty, mereka itu masih kelas satu SMP. Otak anak-anak genius memang beda, ya? Sesuatu yang seharusnya menjadi sebuah prestasi yang bisa dibanggakan, berubah menjadi sesuatu yang mengerikan ketika mereka salah dalam memilih sudut pandang. Pikiran-pikiran mereka condong ke arah yang negatif. Gelap. Sampai-sampai mereka tidak bisa melihat sesuatu dari sisi lain. Kalau saja mereka memiliki sudut pandang lain, kemungkinan besar pembunuhan ini tidak akan terjadi. Ibaratnya orang kalau punya niat, tapi nggak diteruskan kan nggak bakal terwujud.

Selesai membaca bab pertama, buku ini menyuguhkan sebuah twist, di mana kita akan berasumsi bab-bab selanjutnya akan berisi mengenai pembalasan dendam Moriguchi kepada kedua muridnya. Sayangnya tidak seperti itu. Seperti yang aku bilang tadi, setiap babnya cederung repetitif, hanya berbeda sudut pandang, latar belakang, dan tujuan. Tapi saat membaca, kita akan bertemu dengan benang merah yang menghubungkan karakter satu dengan yang lain. Untuk ending-nya sendiri aku ngerasa puas. Cakep deh pokoknya. Semua berakhir dengan indah dan 'bijaksana'.

Buku ini nggak berat kok. Beneran. Terjemahannya juga enak dibaca, bikin nggak sabar buat membalik tiap lembarnya. So, I'm very recommending this book.

Q u o t e s :

Di dunia ini ada banyak hal yang bisa diselesaikan dengan perubahan pola pikir. - h. 11
Menyayangi dan memanjakan itu adalah dua hal yang berbeda. - h. 29
Rasanya terlalu muluk-muluk untuk berpikir bahwa masyarakat bisa mengembangkan moralitas mereka sendiri tanpa aturan. - h. 34 
Saya ingin mereka tahu berat dan pentingnya sebuah nyawa. Dengan mengetahui hal tersebut, saya ingin keduanya memahami beratnya dosa yang telah mereka perbuat, kemudian hidup sambil memikulnya. [Moriguchi Yuko] - h. 67 
"Orang berhati lemah akan melukai orang yang lebih lemah dari dirinya." - h. 211 
"Aku ingin kalian percaya bahwa di dunia yang luas ini, pasti ada tempat yang akan menerima kalian." - h. 212 
Aku takut mati, tapi aku juga tidak merasa sedang hidup. - h. 220
Pandangan dan idealisme itu ditentukan oleh lingkungan tempat seseorang lahir dan dibesarkan. - h. 236
Orang sehebat apa pun pasti punya masa stagnan. - h. 221
Saat itulah saya sadar, tidak ada balas dendam yang bisa membasuh semuanya sampai bersih. [Moriguchi Yuko] - h. 292
"Tapi kebencian tidak bisa dibalas dengan kebencian. Hatimu tidak akan puas dengan itu." [Sakuranomiya] - h. 293

January 04, 2020

[Book Review] Dia - Nonier

Judul: Dia
Penulis: Nonier
Genre: Young Adult
Rilis: 9 Desember, 2019
Tebal: 280 halaman
Bahasa: Indonesia
Penerbit: GPU
ISBN: 9786020635446
Harga: IDR 75.000 (P. Jawa)
Rate: ★★★☆☆


B l u r b :

Denia sudah naksir Janu bertahun-tahun lamanya, tapi di depan Janu, Denia berusaha bersikap senormal mungkin. Sayangnya, Janu yang masih terhitung kerabat itu menganggap Denia sebagai adik. Maka saat mengetahui Janu akan bertunangan dengan Sasa, jantung Denia serasa mau copot.

Dalam perjalanan menuju Jakarta, Denia bertemu Saka, si cowok nyebelin, judes, nggak peka, walaupun sebenarnya ganteng kalau mau senyum. Dan kebetulan banget, sepupu Saka yang jadi fotografer di acara pertunangan Janu-Sasa. Kekecewaan Denia terbaca jelas lewat foto-foto yang tertangkap kamera fotografer.

Sejak itu, ada saja tingkah semesta yang bikin Denia harus berurusan dengan Saka. Sampai suatu saat, Saka menawarkan ide gila untuk menjadikan Denia pacarnya. Katanya sih supaya Denia bisa ngelupain Janu. Tapi tiba-tiba Janu bertindak aneh dan overprotektif pada Denia.

Lalu, Denia harus bagaimana? Melakoni ide gila Saka, atau jujur pada perasaannya sendiri?

*

"Halo, semuanya. Kepada Pak Iskandar dan Bu Hesti, nama saya Saka dan saya jatuh cinta pada Denia. Mohon izin untuk jadian. Terima kasih."

Seriusan aku senyum-senyum sendiri baca itu. Receh sih, tapi gokil. Hehe.... Dari awal, aku udah klik sama Saka ketimbang Janu. Yah, Saka itu tipeku banget—dinginnya ngalah-ngalahin freezer dua pintu.

Jujur aku baru tahu kalau buku ini adalah terbitan ulang, jadi sebelum diterbitkan oleh GPU, udah terlebih dahulu diterbitkan sama Gagas Media. Aku belum baca versi Gagas, tapi kata teman-teman yang udah baca, katanya beda di bagian ending. Entahlah, yang pasti aku menikmati kisah Denia, Janu, dan Saka. Gaya bahasanya agak unik. Gimana ya, setengah baku gitu. Campuran antara baku dan bukan, jadi pas dibacanya nggak berasa kaku-kaku amat. Bagi aku yang orang Jawa Timur, rasanya 'dekat' banget.

Seringnya novel YA mengusung sebuah kisah yang bikin pembaca baper, tapi novel ini nggak. Malahan condong ke argumen. Pendalaman tokohnya lebih kentara melalui keseharian mereka masing-masing, jadi nggak kayak baca biodata orang. Ini yang bikin aku masuk banget sama ceritanya. Padahal tokohnya lumayan banyak, tapi aku nggak kesulitan untuk mengenali dan mengingatnya satu per satu.

Cinta antar saudara memang agak-agak gimana gitu ya. Tapi Denia dan Janu ini nggak sedarah, mereka saudara jauh. Sempat ada twist menjelang akhir cerita, cuma aku udah yakin kok ujung-ujungnya Denia sama siapa. Oh ya, meski aku suka sama Saka, aku lebih suka sama si Hantu Ubi. Seriusan deh, aku gemes banget ngebayangin punya adik model kayak Galih.

Kovernya eye catching. Warna pink gitu loh, hehe....

Kalau ditanya apa yang aku inginkan dari novel ini, aku pengin kisah masa lalunya Saka lebih digali. Ya emang sih, semua ini mengenai Denia. Cuma masa lalu Saka bikin orang penasaran setengah mampus. Saking menyakitkannya, malah bikin tambah penasaran. 

Satu hal yang sangat realistis di sini, yaitu move on dari orang yang dicintai itu nggak gampang. Butuh usaha keras dan waktu—juga air mata. Jadi aku sangat bisa terima kalau Denia dan Saka kesannya kucing-kucingan melulu. Percayalah, move on itu dari orang yang dicintai itu sama sulitnya dengan move on dari mi instan! 

Betewe, Adit di halaman 56 itu siapa sih?

Q u o t e s :

"Jadi orang kok suka membuat diri sendiri menderita." [Saka] - h. 102
"Sudah tahu percuma menunggu, masih aja diterusin. Milik orang nggak usah dipenginin." [Saka] - h. 118
"Jangan terlalu naif, menunggu yang nggak akan datang." [Saka] - h. 119
Tidak peduli apa yang dikatakan Saka tentang dia dan Janu, Denia akan tetap menikmati apa yang bisa dia nikmati. Kebersamaan yang tinggal menunggu waktu untuk berakhir. - h. 121
Menyerahlah, Denia. Mungkin hatimu akan pecah berkeping-keping, remuk tak berbentuk. Tapi apa kamu tidak tahu bahwa hati itu ajaib? Dia bisa pulih kembali, seperti semula. Mungkin akan meninggalkan bekas luka, tapi itu lebih baik daripada mati rasa. - h. 126-127
Hancurkanlah hatimu sekarang, Denia, agar kamu bisa bangkit lagi. Hidupmu terlalu berharga untuk disia-siakan. Patahkanlah hatimu, leburlah kenanganmu. Habiskanlah air matamu, menderitalah untuk hari ini saja. Besok, kamu bangkit dengan kepala tengadah dan mata bercahaya. Dunia tidak berhenti berputar hanya karena kamu putus cinta. - h. 127
Semua berasal dari rasa sesal. Segalanya mungkin saja berbeda bila Saka mengungkapkan apa yang ada di hati. Setidaknya tidak ada yang tertinggal dan mengakar di sana hingga membuatnya mati rasa. - h. 134-135
"Melakukan hal yang sia-sia hanya akan menyakitimu." [Saka] - h.  156
Rasa penasaran itu seoerti gatal, yang belum puas kalau belum digaruk. - h. 171 
"Kenapa menghancurkan sesuatu yang begitu indah untuk masa lalu yang nggak akan kembali?" [Denia] - h. 266