September 11, 2018

[Book Review] My Own Private Mr. Cool - Indah Hanaco

Judul: My Own Private Mr. Cool
Penulis: Indah Hanaco
Halaman: 264 halaman
Genre: Romance (20+)
Tahun: July, 2018
Penerbit: GPU
ISBN: 9786020395227
Harga: IDR 75.000 (P. Jawa)
Rate: ★★★½



"Jika kau gelisah, obatnya cuma satu. Ingatlah pada Tuhan. Tak masalah apakah kau memanggil-Nya dengan Allah, Tuhan, atau nama lain. Dia pemilik segala bahasa. Dia tahu maksudmu." - h. 44

S t o r y l i n e :

Heidy Theapila dan Graeme MacLeod dipertemukan secara tidak sengaja di Vivaldi. Di atas kapal pesiar itu mereka mulai saling tatap hingga saling sapa. Turun dari Vivaldi, Heidy dan Graeme melanjutkan pertemuan mereka dengan mengunjungi beberapa tempat di Venesia. Walau kelihatannya menyenangkan, namiun masing-masing dari mereka masih menyimpan ketakutannya sendiri. Baik Heidy maupun Graeme harus berpikir berkali-kali untuk membuka diri dan jatuh cinta sepenuhnya.
Namun hidup ini penuh dengan kejutan. Tak ada yang tahu apa yang direncanakan-Nya. Jika Dia sudah berkehendak, apa yang menjadi ketakutan mereka akan bisa di atasi. Kebuntuan mereka menemukan jalan keluar. At last, they found their happiness.

K a r a k t e r :

Graeme MacLeod → Seorang veteran marinir yang pernah bertugas di Irak dan Afganistan. Menderita semacam PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), yaitu TBI (Traumatic Brain Injury) akibat perang. Tertarik pada agama Islam karena dia pernah jatuh cinta pada Shirin, seorang penerjemah yang pernah ditemuinya di Fallujah. Saat ini Graeme tinggal di London. Bersama dua sahabatnya, Terry dan Miles, dia membuka kelab dan tempat rehabilitasi untuk orang-orang yang menderita PTSD atau semacamnya. Sebetulnya Graeme ini adalah anak dari pemilik Vivaldi, namun dia sama sekali tidak tertarik untuk mengurus bisnis keluarganya.

Heidy Theapila → Putri tunggal dari keluarga Hilal. Batal menikah dengan Mirza setelah mengetahui bila laki-laki itu ternyata ingin menikahinya karena materi. Hampir seumur hidup Heidy berada di bawah kendali sang Ibu, Fatya yang selalu mengatur-ngaturnya dengan alasan demi kebaikan. Heidy adalah gadis yang mandiri. Meski keluarganya kaya raya, Heidy tidak bergantung dan memilih mendirikan usahanya sendiri. Bahkan dia menyembunyikan identitasnya sebagai putri tunggal keluarga Hilal.

Mirza → Mantan calon suami Heidy. Mengaku cintanya pada Heidy adalah nyata, namun di balik itu semua dia tergoda oleh iming-iming materi.




P e n u l i s a n :

Entah kenapa aku selalu cocok dengan gaya menulis Kak Indah. Bahasanya formal, tapi luwes. Diksinya simpel, nggak menggunakan kiasan berlebihan yang bisa bikin kalimat jadi terasa njlimet/berat/alay. Setiap tempat atau penjelasan dijabarkan dengan kalimat yang ngalir, so nggak perlu khawatir bakalan kayak baca koran atau Wikipedia ya. Hehe.... Perbendaharaan katanya juga banyak, jadi waktu baca jarang tuh nemuin kalimat/kata yang diulang-ulang. Enaklah dibaca. Typo juga hampir nggak ada, Cuma sayangnya ukuran font-nya lebih kecil ketimbang buku-buku terbitan GPU yang lainnya. But that's okay! Masih cukup nyaman buat dibaca dalam jangka waktu lama kok.

S e t t i n g :

Ini adalah kali ketiga aku baca tulisan Kak Indah. Setting tempat dalam buku-bukunya selalu jelas, termasuk dalam buku ini. Jadi enak bayanginnya, imajinasi bisa langsung timbul tanpa kesulitan menciptakannya. Setiap tempat yang dikunjungi digambarkan dengan sangat mendetail, termasuk juga suasananya saat itu.



Selain kovernya yang cakep, secara keseluruhan buku ini menarik dan menyenangkan untuk dibaca. Aku berasa 'jalan-jalan' ke Venesia sungguhan. Aku juga suka Kak Indah memaparkan tentang agama di sini. Entahlah aku ngerasa kalau beberapa poin di sini bisa meluruskan pandangan orang mengenai agama yang dianggap teroris, padahal BUKAN (- h. 118-119). Yup! Buku ini sarat akan ajaran agama Islam serta toleransi antar umat beragama. Aku non Muslim, tapi tetap bisa menikmati buku ini. Karena apa, buku ini memberi aku pengetahuan mengenai agama teman-temanku yang lain. Aku jadi lebih bisa mengerti seperti apa ajaran agama mereka. Meski condong ke salah satu agama, tapi tetap netral alias tidak memojokkan yang lainnya. So, tidak ada kerasisan di sini. For me, that's a good hint.

"Kami diajarkan bertoleransi. Nabi kami sudah memberi contoh nyata. Beliau hidup berdampingan dengan paman yang begitu dicintai tapi tak pernah mengikuti ajarannya. Memberi makan pengemis buta yang setiap hari memfitnah dan mengejeknya sebagai penyihir. Ironisnya, orang yang selalu bicara tentang 'meneladani Rasulullah' justru abai terhadap hal-hal semacam itu. Mereka menyamakan terorisme dengan jihad. Memerangi orang-orang yang tak bersalah hanya karena berbeda pandangan politik. Tapi dengan pengecut berlindung di balik alasan agama. Itu yang akhirnya kulihat dan membuatku berhenti marah." - h. 119



Karakter favoritku dalam buku ini adalah Heidy.
Di mataku sebagai seorang perempuan, Heidy cukup mengagumkan. Pembawaannya tenang dan dewasa, nggak baperan. Mayoritas dari kita pasti akan melakukan hal yang nekat atau bodoh saat menghadapi sesuatu yang dihadapi Heidy. Yah, siapa sih yang masih bisa bepikir dengan jernih setelah merasa ditipu sampai batal menikah? Namun di sini, semarah-marahnya Heidy, dia nggak berbuat bodoh. Malahan Heidy mengambil keputusan yang mungkin sama sekali nggak terpikirkan oleh kita kalau kita berada di posisinya. Di sisi lain, sebagai wanita yang multi-karir, Heidy juga nggak lepas tanggung jawab gitu aja. Marah, patah hati, kecewa, sampai ngerasa hampir gila nggak lantas membuat Heidy lepas tangan. Sesekali Heidy masih menanyakan kabar usajanya kepada Paulita, asistennya. Oh ya, Heidy juga rajin shalat. Dia nggak melupakan kewajibannya meski tengah mengikuti tour. Salut! Karena biasanya orang udah nggak inget sama Tuhan kalau lagi di posisi seperti ini. Seringnya kita bodo amat sama ibadah, lha kan gue lagi tour nih. Ya, nggak?
So intinya karakter Heidy di sini menyenangkan untuk dibayangkan. Walau mungkin agak too good to be true. Setidaknya sosok Heidy di sini bisa dijadikan panutan.




Buku ini bagiku juga kaya akan pengetahuan. Selain setting tempatnya yang nggak sekadar tempelan, unsur sejarah dari tempat-tempat di Venesia juga menjadi poin menarik bagiku. Dari buku ini aku juga baru tahu kalau permukaan Venezia tiap tahunnya mengalami penurunan satu hingga dua milimeter. Artinya entah kapan, Venesia akan tenggelam 🙈 Can't imagine that point! Sayang banget kota se-epic itu harus jadi puing-puing di bawah laut.

Kisah Heidy dan si Mr. Cool a.k.a Graeme bagiku tidak se-epic setting tempat dan suasana yang disuguhkan. Yang aku suka dari mereka itu sama-sama dewasa dan nggak menye-menye. Meski aku sejujurnya agak 'doeng' dengan first sight yang terjadi antara Heidy dan Graeme. Hm, gimana ya.... Heidy kan lagi patah hati sepatah-patahnya tuh, pas pertama kali lihat Graeme langsung dag-dig-dug-dhuaaar! Aku rasa perasaan ini kurang pas untuk orang yang sedang patah hati. Mau dibilang perasaan yang sekadar pelarian juga kurang pas, soalnya pergulatan batin Heidy nggak menjurus ke sana. Emosi antara Heidy dan Graeme menurutku kurang greget dan cenderung banyak basa-basi, malahan yang greget adalah scene Heidy dan Mirza. Mungkin karena pertemuan Heidy dan Graeme lebih dikemas dalam tour di Venesia, jadi yang banyak dibicarakan adalah tempat-tempat yang mereka kunjungi. Baru menjelang akhir aku menemukan greget antara Heidy dan Graeme.

"Kau takkan disakiti oleh orang yang benar-benar mencintaimu." - h. 224

No comments:

Post a Comment