August 31, 2019

[Book Review] Penyap - Sayyidatul Imamah (Versi ARC)

Judul: Penyap
Penulis: Sayyidatul Imamah
Genre: Teenlit
Perkiraan rilis: Oktober, 2019
Tebal: 319 halaman
Bahasa: Indonesia
Penerbit: Storial Publishing
ISBN: -
Harga: IDR. -
Rate: ★★★★☆


B l u r b :

Bagi Leo Sebastian, hidup adalah lorong-lorong gelap berliku. Di dalamnya, ia tersaruk-saruk sendirian. Leo keliru. Di dalam kegelapan itu, ia bertemu Anasera. Gadis itu mengisi kekosongan yang selama ini menguasai Leo.

Bagi Anasera, hari esok adalah sebuah dinding tebal. Ia tidak bisa melihat apa pun di balik tembok itu. Namun, berkat Leo, Anasera mulai berani mengirimkan mimpi-mimpinya ke masa depan.

Sejak pertemuan mereka di rel kereta api saat itu, pelan-pelan cahaya mulai terkuak. Leo tersenyum dengan keyakinan bahwa hidup tidaklah sekosong itu dan bersama Leo, Anasera merasa hidupnya berharga. Namun, ketika mereka pikir semuanya akan baik-baik saja, sesuatu terjadi.

*

Pertama, aku ngerasa beruntung banget karena terpilih menjadi salah satu dari 20 bookstagram yang berkesempatan membaca dan mengulas novel ini versi ARC. Bangga banget loh bisa baca duluan sebelum bukunya resmi terbit, hehe.... Bulan lalu aku baca novel dengan tema yang sejenis dengan ini, judulnya Represi, di mana tokoh utamanya juga memiliki kecenderungan untuk bunuh diri. Tapi jika dipandang dari sudut pandang emosional, Penyap ini jauh lebih emosional.

Dari blurb-nya saja kita sudah bisa merasakan kalau aura buku ini dark. Kelam. Kenyataannya, memang begitu adanya. Seringnya novel teenlit mengusung tema percintaan remaja dan sejenisnya, berbeda dengan Penyap, novel ini mengusung tema mengenai mental illness—plus penderita leukimia limfosit akut. Leo yang seorang penderita mental illness bertemu dengan Anna yang menderita leukimia limfosit akut. Mulanya mereka merasa hidup mereka percuma, jadi bunuh diri adalah pilihan yang tepat untuk mengakhiri segalanya. Pertemuan Leo dan Anna di rel kereta menjadi awal mula kedekatan mereka. Yah, meski mereka itu sebenarnya satu sekolah, mereka berdua tidak pernah bertegur sapa. Leo terkenal sebagai murid bandel yang berada di ambang drop out, sementara Anna jarang masuk sekolah karena fokus dengan penyembuhan penyakitnya.

Dari tidak pernah, kini menjadi terbiasa.
Hubungan Leo dan Anna menjadi dekat. Leo merasa baru kali ini ada seseorang yang benar-benar 'memandangnya', tak peduli seperti apa keadaannya. Pun juga dengan Anna yang mendapatkan kembali semangatnya untuk melawan penyakitnya. Sederhananya, mereka berdua menemukan sebuah alasan untuk hidup. Jadi jangan bayangkan kalau buku ini berisi cerita tentang sepasang kekasih yang salah satunya berada di ambang maut, sementara yang satunya lagi selalu berada di sisinya, menikmati waktu bersama selagi mereka bisa. No! Big no! Novel ini lebih menyorot mengenai mental illness serta perjuangan untuk melawannya.

Ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama bergantian, Anna dan Leo, aku bisa dengan jelas memahami seperti apa jalan pikiran mereka, juga apa yang mereka rasakan. Terutama dengan Leo. Aku merasa related dengan Leo. Well, for some reason that I cannot tell, I'd ever try to kill my own self. Jadi aku tahu betul gimana sulitnya keluar dari kungkungan pikiran jelek. Aku juga tahu gimana rasanya merasa sendiri, seperti tak terlihat. Ada, tapi tidak ada. Jujur setiap kali baca POV-nya Leo, perutku mules. Family issue, mental issue. Ew, untuk anak remaja semua itu bukan hal sepele. Sedangkan untuk Anna, aku berusaha memahami posisinya yang terhimpit di antara ingin menyerah dan terus berjuang. Hanya saja feel-ku buat Anna tidak sedalam yang aku rasakan untuk Leo. Kebetulan belakangan ini aku berkutat dengan seorang pejuang kanker. Tahu nggak, sangat susah untuk membangkitkan semangat kalau kondisi sudah diambang kematian. Daripada Anna, aku lebih bisa merasakan emosi Nora, kakak perempuan Anna. Meski jarang muncul, tapi melalui beberapa selipan diary-nya sudah sangat jelas menunjukkan perasaannya. Nora punya keinginan, punya impian, sayangnya semua itu harus dia korbankan demi kesembuhan Anna. Padahal sejujurnya dia pun tidak tahu apakah Anna akan sembuh. Singkatnya, Nora sudah mengorbankan semua mimpinya untuk sesuatu yang belum pasti.



Gaya bahasa yang digunakan sangat-sangat enak untuk dibaca. Mengalir, walau terkesan agak kaku karena memakai bahasa baku, bukan lo-gue dan bahasa gaul lainnya. Diksi yang digunakan untuk narasinya juga jleb banget, nggak bertele-tele atau mbulet. Aku juga suka kutipan-kutipan yang diselipkan hampir di sepanjang cerita. Pergulatan batin para tokohnya tersampaikan dengan sangat baik, sampai-sampai membuat aku terhanyut. Karakter para tokoh utamanya juga terbagun dengan cukup kuat. Itu semua terbukti dengan sifat, latar belakang, serta cara tokoh tersebut menghadapi masalahnya. 

Karena ini novel teenlit, rasanya nggak afdol kalau nggak bahas soal percintaan. Ya, kan?
Tbh, aku sama sekali nggak ada feel dengan hubungan Leo dan Anna. Di mataku keduanya lebih cocok jadi sahabat/teman baik ketimbang dua orang yang saling jatuh cinta. Leo dan Anna sama-sama memiliki apa yang sahabat butuhkan, saling menerima dan saling mendukung. So, I can say I dislike their insta-love. Kesannya malah agak maksa.

Secara emosi buku ini memang emosional banget. Tapi di samping itu, aku menemukan beberapa hal yang membuatku bertanya-tanya. Misalnya, profesi kedua orangtua Anna. Di situ diceritakan kalau mereka menjual rumah lama mereka yang besar dan pindah ke rumah yang kecil demi membiayai pengobatan Anna. Memang hal ini nggak terlalu penting sih, cuma entah kenapa terasa mengganjal—yah, mungkin aku aja yang terlalu ingin tahu. Lalu yang nggak kalah penting, bahkan menurutku sangat penting, adalah penyakit Leo. Dia menderita penyakit mental yang—menurutku—bersumber dari latar belakang keluarganya, tapi ayolah, aku butuh hal ini lebih digali lagi. Terus, aku juga masih kurang begitu ngeh kenapa dia dan Ryan jadi musuhan kayak gitu. Kilas balik-kilas balik yang diselipkan di situ belum sepenuhnya menjawab pertanyaanku.

Endingnya?
Tenang, nggak ada scene tangis-tangisan ala drakor Endless Love kok. Semua terjadi begitu wajar. Menyedihkan, tapi nggak drama.

Kalau ditanya apakah aku menikmati buku ini, jawabannya adalah ya, aku sangat menikmatinya. Terlepas dari poin-poin yang mengganjal buat aku tadi—serta beberapa tanda petik yang kurang dan huruf yang agak ngaco, buku ini menawarkan sebuah cerita kehidupan yang penuh makna. Banyak pelajaran yang bisa dipetik. Terutama bagi kalian yang selalu merasa sendirian dan tidak berarti, percayalah kalau kalian tidak sendirian. Jangan pernah menganggap diri sendiri aneh, karena setiap manusia memiliki keanehan masing-masing yang disebut unik. Mungkin kalian tidak menderita penyakit mental seperti Leo atau leukimia seperti Anna, tapi perjuangan mereka cukup memotivasi. Believe me, this book is worth to read!

Oh ya, mungkin kalian penasaran dengan kata penyap.
penyap/pe·nyap/ kl a lenyap; hilang
Lalu, apa yang hilang?
Kalian akan mengerti sendiri setelah menyelami cerita dalam buku ini.


Q u o t e s :

"Untuk apa menempuh perjalanan panjang kalau aku sudah yakin dengan tujuanku?" [Leo] - h. 14
Keluargaku selalu seperti ini. Mereka menyayangiku. Aku menyanyangi mereka. Namun, kami tidak bahagia. [Anna] - h. 21 
"Dunia tidak selalu membiarkan kita melawan." [Leo] - h. 31
 Aku selalu berusaha, aku berusaha untuk bertahan. Namun, tidak pernah ada yang memberiku alasan kenapa aku harus bertahan. [Leo] - h. 32 
Mati itu mudah, hidup yang susah. - h. 44
Bertahanlah kalau kamu ingin petualangan besar karena hidup lebih banyak petualangan megabesar yang tidak bisa kamu sangka-sangka. Salah satunya, mencintai dirimu sendiri. Itu adalah petualangan termegah yang bisa dialami siapa pun. [Anna as Mayfly] - h. 83 
"Tapi, berbohong tidak pada tempatnya itu berbahaya." [Leo] - h. 113
Selalu ada sesuatu yang tidak bisa dihentikan oleh manusia, seperti menghentikan hujan turun, menghentikan matahari bersinar, menghentikan bumi berputar, dan menghentikan seseorang untuk tidak pergi. - h. 157
"Seseorang yang berada di tempat terang dalam waktu lama tidak akan terbiasa ketika berpindah ke tempat yang lebih gelap. Dia melihat dengan cara yang berbeda karena tempatnya yang dahulu jauh lebih terang daripada tempatnya yang sekarang. Tapi, berlian tetap berlian meski berada dalam lumpur terkotor sekalipun." [Anna] - h. 173-174 
Seburuk apa pun seseorang, dia tetap bisa bahagia asalkan bersama orang yang tepat. [Leo] - h. 180
"Orang-orang yang melakukan bunuh diri seringkali tidak memikirkan orang-orang yang mencintai mereka." [Pak Ramdan] - h. 195
"Setiap masalah selalu punya solusi, dan solusi itu tidak selamanya berarti menyingkirkan masalah, tetapi terkadang juga menerima masalah yang mendatangi kita." [Pak Ramdan] - h. 195
"Saat kata-kata dikatakan terlalu sering, maknanya akan hilang." [Leo] - h. 216
"Luka yang terlihat tidak selalu yang paling sakit." [Leo] - h. 266
"Tapi hidup adalah hidup. Kita melanjutkan, dan hidup yang menentukan." [Anna] - h. 315

No comments:

Post a Comment