September 07, 2019

[Book Review] Mencari Simetri - Annisa Ihsani

Judul: Mencari Simetri
Penulis: Annisa Ihsani
Genre: Metropop (17+)
Bahasa: Indonesia
Tebal: 240 halaman
Rilis: 19 Agustus, 2019
Penerbit: GPU
ISBN: 9786020629360, 9786020629353 (Digital)
Harga: IDR. 75.000 (P. Jawa)
Rate: ★★★½


B l u r b :

Menjelang usia kepala tiga, April merasa gamang dan kehilangan arah. Ia memiliki karier yang nyaman, tapi tidak bisa dibanggakan. Punya banyak teman, tapi mereka sibuk dengan keluarga masing-masing. Dekat dengan Armin, tapi tak pernah ada kejelasan. Belum lagi menghadapi keanehan Papa yang terus menerus melupakan hal sepele.

Enam tahun April terjebak dalam hubungan yang rumit dengan Armin. Entah salah satu dari mereka punya pacar, atau memang sudah terlalu nyaman berteman. April tetap tak mampu melepaskan Armin sebagai sosok pria ideal.

Saat menemani Papa melalui serangkaian tes medis, Lukman hadir. Pria itu menawarkan kehidupan yang mapan dan hubungan serius.

April berusaha mencari cara untuk menyeimbangkan hidupnya kembali. Dan cara untuk menemukan simetri hatinya. Memilih hidup bersama Lukman, atau menunggu Armin entah sampai kapan.

*

Awalnya aku pikir novel ini akan sama saja dengan novel-novel Metropop pada umumnya, yang menceritakan tentang kehidupan cinta dengan bumbu-bumbu pekerjaan layaknya kaum urban. Ya memang seperti itu sih, tapi cuma 'bungkusnya' aja. Padahal setelah membaca dan menikmati ceritanya, aku cukup tersentil. Haha.

April, wanita berusia 29 tahun dengan hidup yang serba mengambang. Tidak punya tujuan, juga tidak punya arah. Kehidupannya hanya berkutat pada sebuah pekerjaan yang menurut orangtuanya tidak cukup membanggakan, plus perasaannya pada Armin yang tanpa kejelasan. Mereka berdua teman, dekat, tapi hanya seperti itu. April naksir Armin, sedangkan Armin sama sekali tidak peka. Namun begitu April berniat move on, Armin malah terkesan seperti memberi harapan. Yah, gitu aja terus sampai lebaran kebo! Sumpah, kisah April dan Armin di sini bikin aku eneg. Ke-tijel-annya kelamaan, bertahun-tahun. Aku sampai bertanya-tanya, "Nggak capek gitu nge-bucin selama itu? Sementara dunia terus berputar?" *Kalo aku sih ogah. Ogah banget!

Kehadiran Lukman sedikit meredakan rasa eneg-ku. Cuma ujung-ujungnya aku eneg lagi karena April jelas-jelas tidak menyukai Lukman. Sama sekali nggak welcome terhadap eksistensi Lukman. Jujur sebel banget sih, kenapa April malah milih si Armin yang nggak jelas itu?!

Oke deh, cukup bicara soal kisah cintanya April yang menurutku nggak banget. Sisi lain buku ini menyuguhkan sesuatu yang realistis. April merasa eneg dengan hidupnya yang terkesan B aja. Pekerjaan yang gitu-gitu aja, tanpa pencapaian yang bisa dibanggakan. Lalu ada hubungannya dengan Sita, sahabatnya, yang merenggang karena Sita memiliki anak. Tak lupa juga hubungan April dengan keluarganya, terutama ayah kandungnya.

Semua itu membuat April jengkel dengan kehidupan yang dia miliki. Sewaktu melihat instagram Sita yang tengah berkumpul dengan sesama ibu muda, plus anak-anak mereka, April merasa jika dirinya sudah tertinggal jauh. Semua teman-temannya sudah berlari, sementara dia masih diam di tempat dengan kehidupan yang itu-itu saja. Tapi lama-lama April menyadari kalau hubungannya dengan Sita merenggang karena masing-masing dari mereka punya kehidupan. April dengan kehidupannya, Sita dengan kehidupannya. Yah, seperti inilah hidup. Semakin dewasa, akan semakin sibuk dengan hidup kita sendiri, sampai rasanya nggak punya waktu buat say hi sama sahabat kita sendiri. Jadi hubungan yang mulanya dekat jadi merenggang dengan sendirinya, padahal kita tidak bermaksud seperti itu.

Lanjut dengan posisi April sebagai anak bungsu yang mau tak mau harus mengurus ayahnya yang mulai pikun. Ibunya tidak di rumah karena harus mengurus Eyang Uti di luar kota, sementara Kak Laras sudah berkeluarga.
Kebayang nggak betapa repotnya merawat orangtua yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri?
Di satu sisi kita punya kehidupan sendiri, juga pekerjaan yang mungkin menjadi prioritas. Tapi di sisi lain kita juga tidak bisa mengabaikan jika orangtua membutuhkan kita. Keadaan yang sangat sulit memang. Selain direpotkan dengan orangtua yang harus diladeni, kita juga pontang-panting membagi waktu. Biasanya di titik ini, kita ribut dengan saudara sendiri. Meributkan siapa yang harus merawat, dlsb. 

Itulah kenapa aku bilang apa yang dialami April ini sangat dekat dengan kehidupan kita. Sebagian besar dari kita mengalaminya, kan?
Dan sesuatu yang bisa aku ambil dari cerita ini adalah: Kadang-kadang kita menganggap masalah kita adalah yang paling berat, padahal tanpa kita ketahui, masalah orang-orang yang ada di sekitar kita mungkin saja lebih berat. Mereka hanya tidak mengeluh dan menunjukkannya.

Perasaanku bisa dibilang campur aduk saat membaca buku ini. Antara jengkel dengan April yang selalu mengeluh dengan kehidupannya, termasuk jadi bucin-nya Armin, serta banyaknya kejadian dalam buku ini yang secara pribadi menegurku. Awalnya aku nggak yakin bakal ngasih rate 3*, karena keburu eneg duluan sama April yang terus mengharapkan Armin. Tapi semakin ke belakang, aku semakin menikmati cerita ini. Intinya cerita ini membuat hatiku menjerit: AKU NGGAK MAU KAYAK APRIL!
Kebanyakan mengeluh bikin capek hati sendiri.

Oh ya, terlepas dari isi ceritanya, aku merasa kurang nyaman dengan gaya bahasanya.
Baku. Penggunaan aku-kau di sini berasa nggak match sama keadaan sekarang ini. Yakali di zaman Tinder ngobrolnya masih pakai aku-kau? Lagian ini lokasinya di Jakarta, kan?

Q u o t e s:

"Karena hubungan ini bahkan tidak pernah dimulai. Kau tidak bisa mengakhirinya karena tidak ada yang bisa diakhiri." [Sita] - h. 11
"Ketika orang-orang menaruh ekspetasi mereka terhadapmu dan kau tidak mau memenuhinya, itu bukan masalahmu. Kau tidak bisa memenuhi ekspetasi semua orang." [Armin] - h. 52
"Tahu tidak, hanya karena kau menyukai seseorang, bukan berarti kau tidak boleh pergi dengan orang lain. Tidak ada istilah monogami dalam dunia taksir-menaksir." [Tantri] - h. 56
"Aku mulai bertanya-tanya seberapa realistis mengharapkan seseorang untuk setia padamu seumur hidup." [Kak Laras] - h. 108
"Percayalah, kau tidak ingin berumah tangga dengan cowok yang terus-terusan membuatmu merasa tidak cukup baik." [Sita] - h. 124
Kurasa kebanyakan pertemanan berakhir bukan karena perselisihan dan pertengkaran, melainkan karena salah satu atau keduanya sudah larut dalam kehidupan mereka masing-masing. [April] - h. 141
Namun, dalam hati aku menyadari, entah umurmu 14 atau 29, cinta yang tak berbalas tetap sama menyakitkannya. [April] - h. 194
"Cinta bisa datang dan pergi. Komitmenlah yang membuatmu tetap bertahan saat kau bangun pada pagi hari dan tidak lagi kasmaran dengan orang yang tidur di sebelahmu." [Mama April] - h. 210

No comments:

Post a Comment