January 23, 2020

[Book Review] Finn - Honey Dee

Judul: Finn
Penulis: Honey Dee
Genre: Metropop (17+)
Rilis: 13 Januari, 2020
Tebal: 312 halaman
Bahasa: Indonesia
Penerbit: GPU
ISBN:  9786020634869
Harga: IDR 89.000 (P. Jawa)
Rate: ★★★★½


B l u r b :

Setelah "membunuh" seseorang, apakah kita masih bisa "hidup"?

Sejak kematian Arthur, kehidupan Liz dan keluarganya seolah ikut mati. Tak ada lagi kehangatan maupun kebahagiaan. Muak dengan kehidupannya, Liz merencanakan pelarian menuju kebebasan.

Liz berkenalan dengan Andika Gautama, kakak dari seorang remaja penderita autisme. Perkenalan itu membawa Liz ke Balikpapan, tempat ia menyanggupi untuk bekerja sebagai terapis Finn, adik Andika.

Bagi Andika, Liz tidak hanya memenuhi semua kriteria menjadi terapis Finn, tetapi juga mengisi ruang kosong di hatinya. Bagi Finn, Liz adalah harapan setelah dunianya hilang saat kematian ibunya. Dan, bagi Liz, Andika dan Finn adalah kunci mendapatkan uang demi kehidupan baru dan memaafkan diri sendiri atas kematian Arthur.

Masing-masing berjuang menyembuhkan diri dari luka. Namun, jika tiga tragedi ini bersatu, akankah ada keajaiban atau justru lebih banyak musibah terjadi oada mereka?

*

"Anak autis mengalami sakit kepala berkepanjangan. Kelainan pencernaan yang mereka alami membuat sistem sarafnya terepngaruh juga. Kepalanya terasa panas. Kamu tahu bahwa anak autis harus diet CFGFSF—Casein Free, Gluten Free, Sugar Free?" [Liz] - h. 76

Well, aku baru tahu kalau penderita autisme 'haram' makan yang berbahan kasein, gluten, dan gula, karena ternyata dapat membuat si penderitanya alergi. Jujur topik mengenai autisme ini langsung menarik perhatianku dari awal. Berkaca dari karya Honey Dee yang pernah aku baca, Rooftop, aku menaruh harapan kalau buku ini juga akan memiliki sesuatu yang berbeda.

Kalau biasanya Metropop mengangkat topik mengenai cinta-cintaan serta kehidupan masyarakat urban, Finn ini berbeda. Label boleh Metropop, tapi isinya lebih berupa sesuatu yang selama ini jarang kita sentuh, yaitu autisme. Di sini mengisahkan Finn, seorang anak autisme berusia 21 tahun yang mendapat perlakuan kejam dari sang ayah. Ibunya sudah meninggal, sementara kakaknya, Dika, nggak bisa—atau nggak mau berbuat banyak—untuk membela adiknya di hadapan sang ayah. Lalu di sisi lain ada Liz, cewek kuliahan yang merasa menjadi pembunuh sang adik. Padahal semua itu hanyalah kecelakaan. Sejak Arthur, adiknya yang juga autis, meninggal, suasana rumah sudah tak lagi hidup. Liz beserta kedua orangtuanya hanya seperti orang asing yang tinggal dalam satu atap.

Ada dua sudut pandang yang digunakan, yaitu Finn dan Liz. Dari sini kita akan tahu seperti apa 'isi kepala' para penderita autisme. Apa yang mereka rasakan, apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka pahami atau tidak. Bagaimana cara anak autis menanggapi suatu masalah, itu sama sekali berbeda dengan kita yang dilahirkan sebagai orang normal. Pikiran anak-anak autis itu polos. Mereka mengerti dan merasakan, namun mereka tidak tahu apa namanya. Sementara dari sudut pandang Liz, aku suka banget ketika dia mati-matian merawat penderita autisme, padahal Finn bukan apa-apanya. Liz ini memiliki pemahaman sendiri mengenai autisme, sebuah pandangan yang sangat positif dan membangun.

Alur ceritanya sendiri ringkas, nggak melebar ke mana-mana. Benar-benar fokus. Gaya bahasanya juga enak untuk diikuti, termasuk dari sudut pandang Finn yang menggunakan kata SAYA sebagai penunjuk dirinya sendiri. Penulis juga begitu memperhatikan keterbatasan kata yang dimiliki oleh Finn sebagai penderita autisme. Secara keseluruhan buku ini memiliki sesuatu yang baru, sesuatu yang mungkin selama ini kita pandang setengah mata.

Banyak pelajaran dan pengetahuan yang aku dapat dari buku ini. Per lembarnya aku baca dengan sungguh-sungguh. Aku berusaha memahami seperti apa Finn, seperti apa Liz, juga seperti apa Dika. Dan ending-nya heartwarming banget. Aku rekomen deh buku ini buat kalian baca.

Q u o t e s :

Sebenarnya, ada yang lebih buruk daripada kematian, yaitu hidup tanpa harapan. Itu jauh lebih buruk. Parah, kalau kubilang. Nggak mati dan juga nggak hidup. Ini baru tragedi yang sebenarnya. - h. 11
Sebuah kematian datang, lalu kehidupan lain yang tersisa ikut mati perlahan. - h. 12
Nggak. Nggak ada orang yang berbuat kesalahan, lalu bisa tidur dengan tenang. Sekali lagi, nggak ada. Apalagi kalau kesalahan itu sebesar pembunuhan. Dia nggak akan bisa hidup dengan normal lagi. Nggak akan! Dia pasti menghabiskan hari-hari memikirkan terus tentang kematian. Sadar atau nggak, rasa bersalah bakal terus mengejar sampai bikin pengin mati. Sayangnya, penjahat seeprti itu nggak punya cukup nyali untuk mati. - h. 13
"Autisme bukan kelainan jiwa." [Liz] - h.75
"Laki-laki itu egois, Liz." Dika menggeleng. "Meluapkan kemarahan lebih mudah daripada mengakui rasa bersalah." - h. 165
"Kita nggak diciptakan untuk sendiri, Liz. Kita tetap butuh orang lain, sekuat apa pun kita." [Dika] - h. 194
"Dua hati yang patah bisa saling memperbaiki untuk belajar menyembuhkan diri bersama." [Dika] - h. 194
"Kadang mati lebih mudah daripada hidup." [Dika] - h. 278
Maaf nggak selalu berupa kata-kata, kan? - h. 283 
 

No comments:

Post a Comment